Waktu aku mulai masuk SMP, aku tinggal di Danusuman, Solo. Aku tinggal tidak jauh dari rumah teman sekelasku, yang ternyata mantan murid bapakku di SD Kasatriyan, di dalam komplek Kraton Solo. Raden Mas Nug, demikian bapakku memanggilnya. Aku sendiri selalu memanggil namanya tanpa embel-embel di depannya, sekalipun di buku hadir kelas, huruf RM tertulis di depan namanya. Dia sendiri tampaknya juga tidak mempedulikan itu. Sama seperti bapakku, walaupun dianugerahi gelar Raden Nganten, tetapi tidak menjadikannya merasa berbeda. Baginya, hidup adalah untuk mengabdi tanpa pamrih. Itu yang akan menjadikan hubungan dengan sesama seperti membatik damai, tidak untuk saling menguasai, tetapi memberi keindahan bagi yang lain.
Aku sempat memegang canting batik di rumah Nug yang orang tuanya juragan batik tulis. Membatik itu ternyata tidak segampang seperti yang terlihat. Demikian juga tidak gampang membatik damai di kota Solo. Tidak sedikit cerita kekerasan yang terekam dalam perjalanan kota Solo yang meletup dari jiwa yang putus asa atau dari kalbu yang tak memahami ke-jawaan-nya. Tetapi keteguhan dan ketulusan hati para punggawa kota Solo tampaknya merupakan salah satu harta berharga yang sanggup melunasi damai. Aku ingat bagaimana pemindahan pedagang kaki lima berlangsung seperti sebuah karnaval yang menggembirakan, sementara di kota-kota lain harus dibayar dengan sumpah serapah dan bahkan pertumpahan darah.
Kini aku hanya sanggup memupuk kangenku terhadap kota Solo. Beruntung aku membawa salah satu harta lain yang dimiliki kota Solo. Yah.. Putri Solo, yang kini telah melahirkan dua anakku ratusan kilometer dari Solo. Dialah yang menghadirkan eksotisme dan suasana damai Solo di rumah mungilku di Bogor. Walaupun tarian Gambyongnya telah berubah menjadi senam aerobik, tetapi justru menjadikan damai di rumahku tidak sunyi. Sama seperti Solo sekarang. Setiap kali aku datang, selalu ada yang baru di sana. Bagiku itu seperti kota damai yang penuh semangat. Sama seperti batik Solo sekarang yang penuh warna. Jadi tidak mengherankan jika tahun lalu aku membaca koran bahwa Solo dinyatakan sebagai kota dengan indeks tertinggi bagi pertumbuhan anak-anak secara sehat.
Aku juga ingin anak-anakku tumbuh dengan hati yang damai, seperti embahnya, seperti Solo dalam masa laluku dan dalam berita terkini. Anak-anakku, merekalah yang akan memberikan warna damai dan damai yang berwana bagi Solo. Dan teman-temanku, aku tidak tahu ke mana dan di mana mereka kini, tapi aku yakin, merekalah yang sedang membatik damai di Solo. Aku kan segera mengunjungimu. Salam damai…